Tuesday 27 August 2013

Antara Tito dan Cici

"Makasih sayang!" Ucap Mama pada ku setelah aku menyuapkannya sesendok kue dan mengecup keningku.

"Iya Mama, aku sayang Mama," Balasku.

Kemuadian aku kearah Papaku sembari memotongkan kue untuk ku suapkan dan ia juga mengecup keningku lembut sama seperti Mama.

"Makasih Pap, udah buatin acara ini," ucapku.

"Sama-sama sayang," Balas Papa.

Malam ini terasa begitu lelah, aku pun segera menuju kamar dengan langkah yang gontai. Ku raih boneka winne the poohku seraya memeluknya erat dan memandang kembali lekat-lekat wajah bonekaku.

 "Tito, terima kasih selama ini telah menemaniku. Sekarang aku sangat bahagia, hari ini hari ulang tahunku yang ke-19, gak terasa umur aku juga semakin berkurang saja, saat ini aku bahagiaaa banget punya Papa Mama yang selalu menyayangiku, tapi mengapa aku rasa Tito gak seperti dulu lagi, lebih sering diam, dan tak hirau padaku, apa yang terjadi?"


***

10 tahun yang lalu.

"AAaaww, sakiiit sekali"

Seketika aku seperti terduduk ditanah tak sanggup berdiri, terasa butiran-butiran air mata mengalir di pipiku seraya memegang tangan kananku kuat-kuat.

"Cici,  kau kenapa? ayo bangun! Cici! Cici! Cici!" Suara Mela menyuruhku untuk segera bangun.

Tapi aku tak sanggup bangun, tangan kananku begitu sakit yang tak tertahankan.

"Mela, bantu aku berdiri!" Ucapku lirih menahan sakit.

Sekuat tenaga aku mengulurkan tangan kiriku pada Mela tapi belum sempat Mela menyambut uluran tanganku, seketika pandanganku menjadi gelap.
--------------

Aku seperti tersadar dari tidur tapi hal yang pertama kali aku rasakan adalah aroma khas suatu ruangan yang tak pernah aku hirup sebelumnya. Perlahan aku buka mata yang masih terpejam ini, mataku langsung tersorot pada langit-langit yang terbingkai, dan berwarna putih. Seperti bukan dikamarku, karena langit-lanngit kamarku bewarna biru muda.

"Cici, kamu sudah bangun nak, Mama Papa dan Mela menghawatirkanmu," Sebuah suara lirih langsung terdengar oleh telingaku, seketika aku meoleh ke arah sumber suara itu. 

"Mam.... aaawwww," Jeritku ketika tangan ini ingin ku gerakkan memeluk Mama. Akupun hanya bisa terdiam sambil menahan rasa sakit yang masih menjalar disekitar  lenganku.

"Coba jelaskan pada Mama kenapa tanganmu bisa seperti ini nak?" Tanya Mama padaku yang masih menahan sakit.

"Anu Ma, Cici gak sengaja melewati abang kelas yang sedang  bermain bola kaki di halaman sekolah, waktu itu Cici dan Mela assik bicara, dan  bola tiba-tiba saja mengenai tangan Cici," Jawabku polos.

"Maafkan Cici Mam, Cici yang salah gak hati-hati," sambungku.

"Jadi Cici kena bola, siapa benar dia? setelah dia menendang bola kearahmu, dia tak bertanggung jawab, malah Mela yang melapor kerumah bersama guru-guru bahwa Cici telah dirumah sakit. Sekarang mana dia? biar Mama beri pelajaran dan memarahi dia yang  main bola sembarangan," Ucap Mama tegas seperti marah besar.

"Saya tante!"

Terdengar olehku sebuah suara cengil polos yang penuh keberanian menunjukkan siapa dia.

"Saya Tito Dimas Prayoga, maafkan saya yang tidak sengaja menendang bola ke arah anak tante, saya benar-benar menyesal,"

"Ooohh,kamu toh? menyesal kamu bilang? apakah dengan kata menyesal tulang tangan anak saya yang patah bisa bersambung kembali dengan sendirinya?" Hardik Mamaku yang emosi tak tahan melihat aku menderita kesakitan seperti ini.

Seketika ruangan serba putih itupun menjadi hening seolah tak ada penghuni. Ku lihat Abang kelas yang bernama Tito itu membisu tak percaya atas keadaanku.

Tito berjalan ke arahku pelan. Aku mengrutkan kening tak tahu apa yang akan ia lakukan padaku. Aku pun sedikit menjauhkan posisi ku darinya. 

"Awwww, Mam..." Aku merintih kesakitan lagi.

Tito tampak berhenti mendekatiku. Dan Mama menyambar tangan anak yang bernama Tito itu dan meyuruhnya keluar dari ruangan ini sekarang juga.

"Apa kamu mau membunuh Cici lagi setelah kamu mematahkan tangannya. Pergi kamu dari sini!" Bentak Mamaku kepada Tito.

Tiba-tiaba saja sepasang manusia masuk kedalam ruangan ini. Menangkap Tito yang hampir saja terjatuh oleh dorongan Mamaku. Papaku tampak menyuruh Mama untuk sedikit sabar, sedangkan Mela hanya mematung seakan tak mengerti apa yang terjadi.

"Yoga,Reza Prayoga?? Ja...jadi dia anakmu?" Kata Mamaku ragu kearah sepasang manusia yang sepertinya suami-istri itu."Pa, Mama gak sanggup lagi dengan masalah ini, tolong Papa usir mereka dari sini, Mama capek," Ungkap Mama seakan meredam kemarahan dan fokus melihat keadaanku.

"Maafkan anakku Pak, Mira juga tolong maafkan kesalahan anak saya, ia tidak sengaja, tolong maafkanlah Tito." Papa terus mendesak agar keluarga Tito segera pergi dan tak menghiraukan apa kata lelaki yang  bernama Reza itu.

Setelah mereka semua pergi aku memberanikan diri bertanya pada Mama siapa orang yang Mama panggil Reza itu. Mama menjawab dia adalah masa lalu Mama yang membuat Mama terluka. Mama menyayangakan keadaan dimana apa yang Mama alami terjadi padaku atas kelakuan anaknya Reza. Bedanya kalau Mama terluka ketika hari pernikahannya dengan Reza di masa lalu terpaksa batal karena Reza yang tak muncul-muncul saat akan ijab kabul.

--------------

Setelah hampir dua minggu tak sekolah, senang rasanya aku bisa bersekolah kembali, walaupun tanganku masih menggantung dan dibalut perban. 

Tapi baru saja aku selesai menaiki anak tangga dan mengangkat wajahku, alangkah terkejutnya aku melihat boneka besar Winnie the pooh menggantung di tangan seseorang.

"Apa kau sudah sembuh? Aku dengar kau menyukai Winnie the pooh, terimalah boneka ini sebagai permintaan maafku karena membuat tanganmu patah?" Terdengar suara anak laki-laki yang tak asing bagiku.

"Apakah itu kau, Tito?" Tanya ku.

"Iya, aku yang kerumah sakit waktu itu."

"Aku memaafkanmu, tapi jangan kau lakukan lagi hal seperti ini?" Kataku pada Tito.

"Iya, aku tak akan mematahkan tanganmu lagi," jawab Tito.

"AAIIKK.... mematahkan? maksud aku, kalau ingin minta maaf sama orang jangan lagi menutupi muka dengan benda seperti ini lagi, aku jadi susah mengenalinya," Sanggahku yang membuat Tito langsung memberikan boneka cantik itu dan tersenyum lebar ke arahku.

"Terima kasih Cici, mulai sekarang aku akan melindungi mu, aku janji gak akan ada lagi yang namanya "patah"," Ucap Tito pergi dan meninggalkanku. Akupun saat itu hanya bisa tersenyum sambil melihat punggungnya tak percaya ia melakukan ini untukku.

---------------

Hari demi hari berlalu, sejak aku pertama kali masuk sekolah setelah kecelakaan itu ia lebih sering menjemputku ke kekelas III A, padahal kelasnya yang di V A lumayan jauh. Aku juga selalu ikut ketika Tito mengajakku makan dibawah pohon rindang halaman sekolah dan Tito selalu membawakan makanan yang enak-enak buatan ibunya khusus untukku. Tito selalu menyuapiku ketika makan, aku tak bisa suap sendiri karena tangan kananku yang masih menggantung dan dibalut perban. Dari itu semua banyak yang mengira waktu itu aku dan Tito adalah kakak-adik ditambah lagi wajah yang katanya hampir mirip. Sejak itu aku merasa senang dan gak ingin pisah dari Tito.


Tapi apa dikata, takdir berkata lain. Sesusah apapun aku berkata bahwa Tito baik tapi Mama bersikukuh tidak memperbolehkan aku dekat-dekat dengan Tito, apalagi ayahnya Tito yang membuat hati Mama terluka.

Hal yang tak diinginkan pun terjadi. Aku sempat bingung mengapa Mama memutar arah ketika mengantar aku ke sekolah, dan ternyata Mama telah memindahkan aku kesekolah lain. Aku marah besar sama Mama dan gak akan mau sekolah lagi kalau  kayak gini. Tapi Mama memarahiku dan aku hanya bisa menurut.

Selang beberapa bulan kemudian Papa ada tugas di Kalimantan yang mengharuskan keluargaku pindah dari Pekanbaru. Yaaa.... aku akan meninggalkan Tito, mungkin untuk selamanya dan gak akan ada harapan lagi.

Aku pun hanya bisa mengucapkan salam perpisahan kepadanya dalam hati Selamat tinggal Tito, semoga kita berjumpa lagi.

***

Sudah gila rasanya berbicara terus sama boneka Titoku yanng tak pernah memberikan jawabannya. Titoku hanya diam,bisu. Ahhh... apakah aku gila karenanya. Tapi aku merasa aku masih waras. Aku sangat merindukan Tito aku ingin bertemu dia, setidaknya satu kali saja.

Papa ada cuti dari kantornya dan kebetulan aku baru siap ujian di kampus dan sedang libur. Keluargaku akan berangkat dari Kalimantan ke Pekanbaru untuk bertemu keluarga Mama yang masih menetap disana. 

Aku pun tak menyia-nyiakan kesempatan. Ya Robb, aku pengen ketemu Tito, bantu aku Ya Robb.

Ku gayuhkan sepeda sepupuku yang aku pinjam menuju SD aku dulu. Kebetulan rumah sepupuku tidak begitu jauh dari tempat aku bersekolah dulu. Ku lihat-lihat sekeliling dan telah banyak berubah, termasuk rumah lamaku dulu. Aku masih melihatnya., masih kelihatan mirip walaupun catnya berbeda dan tak banyak bunga ku tampak. Dulu rumahku banyak sekali bunga-bunga yang cantik, Mama sangat suka bunga dan menghias rumah dengan bunga-bunga. Seneng rasanya rumah  saudara tak terlalu jauh dari SD. Jadi bisa mampir nostalgia di SD dulu walaupun tanpa dia.

Waaaahhh..... lega sekali hati ini, bangku dan pohon tempat aku makan bersama Tito tak ditebang, melihat renovasi sekolah ini. Kenangan masih nampak abadi disini. Ku keluarkan hape kamera dan ku letakkan boneka Tito di bangku itu, langsung deh aku jepret. 

"Gimana, hasilnya bagus gak?"

"Waaah... bagus banget, boneka Titoo...." aku tersentak dan terdiam.

Seseorang meraih pundakku dari belakang. Aku pun menoleh, satu kata yang hanya keluar yaitu,

"Titooo!"

Dia meraih tangan kananku, dan menyibak sedikit lengan bajuku yang menutupi tangannku.

"Sepertinya membaik, hanya ada bekas jahitan, apakah terasa sakit bila disentuh?" tanya nya.

"Tidak sakit kok, tapi di tanganku tertanam baut-baut kecil" jawabku.

Seketika aku dan Tito tertawa lepas, ku raih Boneka Titoku, ku peluk ia dengan erat. Tito tersenyum dan membuka lebar tangannya, aku mendekat kearahnya memeluknya rindu bersama boneka Titoku.

"Mulai sekarang jangan pergi lagi tanpa kabar, bukankah aku berjanji akan melindungimu? aku sayang kamu Cici,"

Tangis yang menjadi tak dapat aku bendung lagi. Ku biarkan ia mengalir sederas aliran sungai menemukan lautan. Aku hanya dapat mengangguk iya terhadap apa yang dikatakan Tito. "Thanks God, You answered my prayers." Ungkapku dalam hati.

TAMAT





No comments:

Post a Comment